PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP SILIWANGI BANDUNG
Volume 1, Tahun 2013. ISSN 977-2338831
Gaguk Margono
Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Rawamangun, Jakarta 13220 g_margono@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menguji keakuratan atau ketepatan koefisien reliabilitas multidimensi bila dibandingkan dengankoefisien reliabilitas unidimensi. Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.Pengukuran dan komputasi reliabilitas dideskripsikan dalam artikel ini menggunakan instrumen pengukur kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan internal. Kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan internaladalahperasaan mahasiswayangdihasilkan darimembandingkan kinerjasuatu produkyang dirasakan(hasil) dalam hubungandengan harapan mahasiswa. Kepuasan mahasiswa memiliki lima dimensi yaitu sesuatu yang terwujud, reliabilitas, ketanggapan, jaminan, dan empati. Metode dalam penelitian ini digunakan simple random sampling. Instrumen ini telah diuji cobakan di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta.Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa instrumen pengukur kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan internalmenggunakan koefisien reliabilitas multidimensi memiliki ketepatan yang tinggi bila dibandingkan dengan koefisien reliabilitas unidimensi. Diharapkan dalam penelitian lanjutan digunakan formula reliabilitas multidimensi yang lainnya baik yang menggunakan analisis faktor konfirmatori maupun yang tidak.
Kata kunci: reliabilitas multidimensi, instrumen kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan internal, analisis faktor konfirmatori
PENDAHULUAN
Menurut Lewis dan Smith (1994), pelanggan pendidikan tinggi terdiri dari: (1) pelanggan internal
akademik (mahasiswa, fakultas, program studi/jurusan), (2) pelanggan internal administratif
(mahasiswa, pegawai, unit/divisi pelayanan), (3) pelanggan eksternal langsung (sekolah, industri,
universitas lain), dan (4) pelanggan eksternal tidak langsung (parlemen, masyarakat luas, badan
akreditasi, alumni, donor).Dalam sistem pendidikan tinggi (PTN maupun PTS), pelanggan adalah
entitas atau pribadi paling penting dalam organisasi.Di sini dibahas tentang kepuasan pelanggan
internal yakni mahasiswa.Kepuasan mahasiswa adalah pemenuhan kebutuhan dan harapan
mahasiswa.
Kepuasan bersifat relatif, tergantung kebutuhan dan harapan mahasiswa.Semakin tinggi kebutuhan
dan harapan mahasiswa maka semakin sulit untuk mencapai kepuasan mahasiswa. Misalnya,
Jurusan Teknik Mesin segmen pasarnya adalah orang yang berminat menjadi mahasiswa teknik
mesin, sedangkan pelanggan yang harus dilayani oleh Jurusan Teknik Mesin adalah mahasiswa
teknik mesin sebagai pelanggan internal dan mahasiswa non teknik mesin sebagai pelanggan
eksternal. Setelah minat menjadi mahasiswa terpenuhi, maka pelanggan internal punya harapan dan
kebutuhan untuk belajar mengenai Teknik Mesin dengan baik, selanjutnya pelanggan eksternalpun
akan mempunyai harapan yang sama.
Kepuasan mahasiswa adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan kebutuhan mahasiswa
dipenuhi.Sedangkan suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan dan harapan mahasiswa. Jadi keterkaitan antara kepuasan mahasiswa dengan mutu pelayanan adalah bila mutu pelayanan tinggi atau berkualitasmaka kepuasan mahasiswa akan
meningkat atau tinggi dengan kata lain mahasiswa akan puas atau sangat puas bila kualitas atau
mutu pelayanan dapat dipercaya, diandalkan, dan teruji. Kepuasan mahasiswa dan kualitas
pelayanan seolah-olah merupakan sekeping mata uang yang tak terpisahkan diantara keduanya.
Kepuasan mahasiswa merupakan faktor esensial dalam Total Quality Management (TQM), karena
itu Perguruan Tinggi (PT) harus mengidentifikasi kebutuhan para pelanggan secara cermat dan
berusaha memuaskan dengan memandang mahasiswa sebagai pelanggan utama yang harus
dilayani.
Untuk mengukur kepuasan mahasiswa digunakan suatu ukuran subyektif atau soft measures
sebagai indikator mutu atau kualitas. Ukuran ini disebut lunak (soft), sebab ukuran-ukuran ini
berfokus pada persepsi dan sikap daripada hal-hal yang konkret yang disebut kriteria obyektif.Oleh
karena berfokus pada persepsi dan sikap maka alat pengukur yang digunakan dapat berupa
kuesioner kepuasan mahasiswa yang dapat diukur melalui mutu atau kualitas pelayanan dari
institusi pendidikan tinggi tersebut.
Mutu atau kualitas (quality) merupakan suatu istilah yang dinamis yang terus bergerak; jika
bergerak maju dikatakan mutunya bertambah baik, sebaliknya jika bergerak mundur dikatakan
mutunya merosot.Mutu berarti dapat berarti superiority atau excellence yaitu melebihi standar
umum yang berlaku.Sesuatu dikatakan bermutu jika terdapat kecocokan antara syarat-syarat yang
dimiliki oleh benda atau jasa yang dikehendaki dengan maksud dari orang yeng menghendakinya.
Menurut Idruset al. (2000) “…the fitness purpose as perceived by the custome.” Misalnya, mutu
proses belajar cocok dengan apa yang diharapkan oleh mahasiswa; makin jauh melampaui apa
yang diharapkan makin bermutu, jika terjadi sebaliknya, makin tidak bermutu.
Langkah pertama mengukur kualitas pelayanan adalah mengidentifikasi karakteristik kualitas
pelayanan. Daftar karakteristik ini dapat digeneralisasi dalam berbagai cara dengan menggunakan
berbagai sumber informasi. Salah satu cara adalah mencari literatur seperti jurnal yang mungkin
memuat dimensi mutu jasa. Peneliti-peneliti seperti Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) telah
menyimpulkan bahwa mutu jasa dapat diuraikan dengan dasar 10 dimensi.Mereka mencoba untuk
mengukur sepuluh dimensi, ternyata pelanggan hanya dapat membedakan 5 dimensi yang disebut
ServQual (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988) memberi kesan bahwa dimensi 10 yang asli
saling tumpang-tindih satu sama lain. Lima dimensi mutu pelayanan adalah sesuatu yang terwujud
(tangible), kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan
empati (empathy). Lebih lanjut tentang dimensi ini dapat dibaca dari publikasi pada kualitas
pelayanan jasa oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990).
Dimensi pertama dari kualitas pelayanan menurut konsep ServQual ini adalah tangible karena
suatu jasa tidak dapat dicium dan tidak dapat diraba, maka tangible menjadi penting sebagai ukuran
terhadap pelayanan.Tangible merupakan kemampuan untuk memberi fasilitas fisik kampus dan
perlengkapan perkuliahan yeng memadai menyangkut penampilan karyawan/dosen dan pejabat
serta sarana umum. Misalnya: ketersediaan ruang menyangkut kelengkapan dan ketersediaan
peralatan, kenyamanan dan kecanggihan kampus, fasilitas komputer dan internet, perpustakaan,
ruang kuliah, ruang seminar, ruang dosen, media perkuliahan, laboratorium, unit produksi, kantin,
pusat bimbingan karir, layanan kesehatan, tempat ibadah, tempat istirahat dan tempat parkir, serta
sarana transportasi. Mahasiswa akan menggunakan indra penglihatan untuk menilai suatu kualitas
pelayanan dari segala sarana dan fasilitas yang ada.
Kedua, dimensi reliability yaitu dimensi yang mengukur kehandalan dari pendidikan tinggi dalam
memberikan pelayanan kepada mahasiswa. Ada dua aspek dari dimensi ini yakni: (1) kemampuan
perguruan tinggi untuk memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan, dan (2) seberapa jauh
perguruan tinggi memberikan pelayanan yang akurat atau tidak error. Dengan kata lain reliability
merupakan kemampuan pejabat, karyawan/dosen dalam memberikan pelayanan sesuai dengan
yang dijanjikan (tepat waktu), dengan segera, relevan, dan akurat sehingga memuaskan mahasiswa.
Contoh: pengembangan administrasi, kurikulum dan penawaran mata kuliah sesuai tuntutan
keterampilan, profesi dan dunia kerja, perkuliahan berlangsung lancar sesuai jadwal, penilaian hasil
studi obyektif, fair, dan tepat waktu.
Ketiga, responsiveness adalah dimensi kualitas pelayanan yang dinamis. Harapan mahasiswa
terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah dengan kecenderungan naik
dari waktu ke waktu. Responsiveness merupakan kesediaan para pejabat, dosen/karyawan untuk
membantu dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan mahasiswa. Contoh: pejabat mudah
ditemui untuk diminta bantuan, dosen mudah ditemui untuk keperluan konsultasi, proses belajar
mengajar berlangsung interaktif dan variatif serta memungkinkan para mahasiswa mengembangkan
kapasitas dan kreativitas, pengelola memberi fasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan
mahasiswa dan dunia kerja.
Dimensi keempat dari 5 dimensi kualitas pelayanan yang menentukan kepuasan pelanggan adalah
assurance, yaitu dimensi jaminan kualitas yang berhubungan dengan kemampuan institusi dan
perilaku front-line staf dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para
mahasiswa.Assurance mencakup kompetensi, pengetahuan, keterampilan, kesopanan, hormat
terhadap setiap orang, dan sifat percaya yang dimiliki para staf. Contoh: para dosen menyampaikan
kuliah sesuai dengan bidang keahlian/pengalamannya, dosen selalu berusaha menambah wawasan
dengan membaca, menghadiri seminar, mengikuti pelatihan, studi lanjut, melakukan penelitian,
memiliki sikap dan perilaku baik, serta seluruh jajaran, dan organisasi mencerminkan
profesionalisme sesuai dengan yang diatur dalam standar.
Berdasarkan banyak riset, ada 4 aspek
dari dimensi ini, yaitu keramahan, kompetensi, kredibilitas, dan keamanan.
Kelima, empati adalah kemampuan pejabat, karyawan/dosen sehingga memberi pelayanan sepenuh
hati, antara lain kemudahan dalam berkomunikasi, perhatian secara pribadi dan pemahaman akan
kebutuhan spesifik individual mahasiswa. Contoh: dosen berusaha mengenal nama mahasiswanya,
dosen penasehat akademis sungguh-sungguh berperan sebagai konselor, dan sebagai supervisor
bukan sekedar editor bahasa, dan pejabat mudah dihubungi baik di ruang kerja, via telepon, email
dan sebagainya. Empati ini berkaitan dengan teori perkembangan kebutuhan manusia dari Maslow.
Pada tingkat kebutuhan semakin tinggi, kebutuhan manusia tidak lagi dengan hal-hal yang primer
seperti kebutuhan fisik, keamanan dan sosial terpenuhi, maka dua kebutuhan lagi akan dikejar oleh
manusia yaitu kebutuhan akan ego dan aktualisasi diri. Dua kebutuhan terakhir inilah yang banyak
berhubungan dengan dimensi empati.
Di bidang pendidikan, ekonomi, bisnis maupun manajemen, penilaian yang baik memerlukan
pengukuran yang dapat diandalkan atau dipercaya.Demikian juga pada bidang pendidikan dan
psikologi. Menurut Naga (1992) untuk pengukuran pendidikan dan psikologi mencakup beberapa
hal. Pertama, mengukur ciri terpendam yang tak terlihat yang ada pada responden. Kedua, untuk
mengukur ciri terpendam tersebut responden diberi stimulus berupa kuesioner atau alat ukur yang
tepat. Ketiga, stimulus direspons oleh responden dengan harapan respons mencerminkan dengan
benar ciri terpendam yang ingin diukur. Keempat, respons diskor dan dapat ditafsirkan secara
memadai.Kemudian, perlu dipertanyakan sejauh manakah skor yang diperoleh dapat
mencerminkan secara tepat ciri terpendam yang hendak diukur? Apakah instrumen yang dipakai
sebagai stimulus itu mampu mengungkap secara benar ciri terpendam yang tak tampak itu? Kedua
pertanyaan tersebut berkenaan dengan validitas. Sedang yang berkaitan dengan reliabilitas, apakah
tanggapan yang diberikan oleh para peserta sudah dapat dipercaya untuk digunakan sebagai bahan
penskoran bagi atribut psikologis itu?
Menurut Wiersma (1986), reliabilitas ialah konsistensi suatu instrumen mengukur sesuatu yang
hendak diukur.Reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat
dipercaya. Oleh karena itu reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu instrumen dipakai berulang-ulang
untuk mengukur gejala yang sama dan hasil yang diperoleh relatif stabil atau konsisten, maka
instrumen tersebut terpercaya. Dengan kata lain hasil pengukuran itu diharapkan sama apabila
pengukuran diulang.
Secara garis besar ada tiga kategori besar dalam pengukuran reliabilitas: (1) tipe stabilitas
(misalnya: tes ulang, bentuk paralel, dan bentuk alternatif), (2) tipe homogenitas atau internal
konsistensi (misalnya: belah dua, Kuder-Richardson, alpha Cronbach, theta dan omega), dan (3)
tipe ekuivalen (misalnya: butir-butir paralel pada bentuk alternatif dan reliabilitas antar penilai
(inter-rater reliabiliy)).Instrumen diberikan kepada sekelompok subjek satu kali lalu dengan cara
tertentu dihitung estimasi reliabilitasnya. Pendekatan pengukuran satu kali ini menghasilkan
informasi mengenai konsitensi internal instrumen. Konsistensi internal merupakan pernyataanpernyataan tersebut mengukur aspek yang sama atau merefleksikan homogenitas butir-butir
pernyataan.
Makin tinggi koefisien reliabilitas, makin dekat nilai skor amatan dengan skor yang sesungguhnya,
sehingga nilai skor amatan dapat digunakan sebagai pengganti komponen skor yang sesungguhnya.
Ukuran tinggi atau rendahnya koefisien reliabilitas tidak hanya ditentukan oleh nilai koefisien.
Tafsiran tinggi rendahnya nilai koefisien diperoleh melalui perhitungan, ditentukan juga oleh
standar pada cabang ilmu yang terlibat di dalam pengukuran itu. Makin tinggi koefisien reliabilitas
suatu instrumen, maka kemungkinan kesalahan yang terjadi akan makin kecil kalau orang membuat
keputusan berdasarkan skor yang diperoleh dalam instrumen tersebut.
Pada umumnya pengukuran karakteristik afektif memberikan koefisien reliabilitas yang lebih
rendah daripada pengukuran ranah kognitif, karena karakteristik kognitif cenderung lebih stabil
daripada karakteristik afektif. Menurut Gable (1986) koefisien reliabilitas instrumen ranah kognitif
biasanya kira-kira 0,90 atau lebih, sedangkan koefisien reliabilitas instrumen ranah afektif kurang
dari 0,70.Koefisien reliabilitas pada taraf 0,70 atau lebih biasanya dapat diterima sebagai
reliabilitas yang baik (Litwin, 1995).[10] Sedangkan menurut Naga (1992) koefisien reliabilitas yang
memadai sebaiknya terletak di atas 0,75.
Pada setiap penelitian yang menggunakan pengukuran psikologis selalu menerapkan pengujian
validitas dan reliabilitas. Namun dalam perjalanannya di bidang psikometri, para ahli belum ada
kesepakatan tentang koefisien reliabilitas atau rumus yang mana untuk reliabilitas antar peneliti.
Pertama, masih banyak peneliti yang dinilai cukup kompeten masih banyak yang kurang tepat
dalam melaporkan reliabilitas hasil pengukuran mereka (Thompson, 1994).
Kedua, masalah yang muncul adalah penggunaan koefisien reliabilitas oleh para peneliti secara
monoton tanpa mempertimbangan asumsi yang mendasari koefisien tersebut. Para peneliti tanpa
sadar menggunakan koefisien alpha yang juga dengan tanpa sadar bahwa untuk koefisien ini
memerlukan asumsi yang sulit dipenuhi. Jika asumsi tidak dipenuhi maka koefisien alpha yang
dihasilkan adalah nilai di batas estimasi terendah. Banyak peneliti hanya terpaku pada penggunaan
koefisien alpha dalam mengestimasi reliabilitas. Popularitas koefisien alpha Cronbach ini lahir
karena faktor: 1) teknik komputasi relatif mudah, karena hanya memerlukan informasi berupa
varians skor total, dan 2) distribusi sampling sudah diketahui sehingga penentuan interval
kepercayaan pada populasi sangat dimungkinkan (Feld dan kawan-kawan, 1987).
Ketiga, permasalahan yang berhubungan dengan asumsi yang menjadi syarat dalam mengestimasi
reliabilitas. Pada ranah empiris selain persyaratan adanya sifat paralel, persyaratan tau-equivalent
merupakan tantangan yang cukup berat bagi peneliti dalam menyusun instrumen pengukuran. Hal
ini didukung oleh Kamata dan kawan-kawan (2003) yang menemukan bahwa asumsi kesetaraan,
daya diskriminasi antar komponen tes dan unidimensionalitas pengukuran merupakan hal relatif
sulit dicapai. Jika asumsi essentially tau-equvalent tidak dapat dipenuhi maka koefisien alpha
menghasilkan nilai reliabilitas yang sangat kecil, sehingga koefisien tersebut di bawah estimasi.
Keempat, wacana pengukuran adalah masalah unidimensionalitas pengukuran. Unidimensionalitas
adalah aspek penting dalam mengestimasi reliabilitas. Hasil pengukuran psikologis yang bersifat
unidimensi sangat sulit dicapai, terutama dalam konteks domain kepribadian yang kebanyakan
memuat area varians-varians traits yang luas. Socan (2000) menulis bahwa analisis faktor yang
dilakukan dari beberapa penelitian banyak kasus multidimensi dibanding dengan unidimensi.
Masalah asumsi bukan menjadi masalah utama dalam menyusun model konsistensi internal, namun
masalah ini menjadi bahan kajian banyak peneliti dalam pengkajian reliabilitas. Seperti penelitian
Vehkahlati (2000) yang menyimpulkan bahwa asumsi yang tidak cukup realistis pada teori skor
murni klasik adalah asumsi unidimensionalitas skor murni yang secara praktis sulit dibuktikan. Jadi
kajian multidimensionalitas pengukuran muncul ke permukaan karena banyak kasus ditemui bahwa
juga adanya korelasi antar butir di dalam dimensi tersebut kadang-kadang lebih tinggi dibanding
dengan korelasi antar butir dalam tes.
Pada pengembangan instrumen pengukuran dalam bidang pendidikan banyak mengasumsikan
penggunaan pengukuran yang bersifat unidimensi yang secara konseptual dirumuskan bahwa hanya
ada satu jenis faktor kemampuan, kepribadian, sifat, maupun sikap yang diukur oleh satu instrumen
pengukuran. Tetapi, banyak penelitian menunjukkan bahwa asumsi unidimensi tersebut sulit
dipenuhi dengan ditemukannya beberapa faktor baru yang ikut diukur dalam satu instrumen.
Dengan kata lain, instrumen yang bersifat psikologis yang sering dipakai peneliti cenderung
bersifat multidimensi.
Beberapa alasan pentingnya pengukuran reliabilitas yang bersifat multidimensi seperti dikemukan
oleh Widhiarso dan Mardapi (2010) dengan uraian sebagai berikut: pertama, karakteristik konstruk
psikologis yang umumnya bersifat multidimensi. Kedua, adanya pelibatan aspek-aspek dalam
penyusunan instrumen psikologis biasanya diawali dengan penurunan butir-butir dari beberapa
aspek teoretis dan kecenderungannya bersifat multidimensi. Ketiga, jumlah butir di dalam
instrumen. Jumlah butir yang terlalu banyak dapat menambah potensi penambahan varians error
dalam butir sehingga memunculkan dimensi baru dari dimensi yang ditetapkan semula. Jumlah
butir dan juga bentuk skala mempengaruhi sikap responden terhadap butir yang kemudian
mempengaruhi tanggapan mereka terhadap instrumen. Keempat, teknik penulisan butir. Spector
dan kawan-kawan (1997) menemukan bahwa teknik penulisan butir yang memiliki arah yang
terbalik antara positif (favorable) dan negatif (unfavorable) dapat membentuk dimensi ukur baru
padahal dalam pengambilan data banyak skala psikologi menggunakan teknik penulisan butir yang
berbeda arah. Kelima, satuan pengukuran yang berbeda. Pengukuran bidang psikologis cenderung
memiliki satuan ukur yang berbeda antara butir satu dengan butir lainnya memiliki kapabiltas yang
berbeda sebagai indikator konstruk ukur. Kondisi ini akan menyebabkan hasil pengukuran
cenderung bersifat multidimensi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengukuran psikologis, baik mengukur konstruk
kognitif maupun nonkognitif sangat rentan terhadap kemajemukan atribut yang diukur
(multidimensi). Selanjutnya dengan memahami kecenderungan pengukuran psikologis lebih pada
model pengukuran multidimensi dibandingkan dengan model unidimensi, maka diharapkan proses
pengukuran psikometris juga melibatkan teknik analisis yang menggunakan model multidimensi.
Selanjutnya menurut Latan (2012), model pesamaan struktural atau Structural Equation Modeling
(SEM) merupakan suatu teknik analisis multivariate generasi kedua yang menggabungkan
antara analisis faktor dan analisis jalur sehingga memungkinkan peneliti untuk menguji dan
mengestimasi secara simultan hubungan antara multipleexogenous dan endogenous variabel
dengan banyak indikator.Hasil penelitian Joreskog pada tahun 1970an membawa teori statistika
pada analisis struktural linear yang lebih dikenal dengan sebutan model persamaan struktural atau
SEM. Sumber penting yang digunakan dalam menganalisis adalah struktur kovarian sehingga
terkadang pendekatan ini dinamakan dengan covariant structure model (CSM). Model yang
disusun memuat variabel tak terukur yang dinamakan dengan konstruk laten yang dibangun oleh
serangkaian variabel terukur yang dinamakan dengan konstruk terukur. Error pengukuran yang
merefleksikan reliabilitas skor pengukuran dilihat sebagai konstruk unik dan menjadi bagian yang
penting dalam analisis SEM, error pengukuran yang dilibatkan dalam analisis SEM inilah yang kemudian menjadi kelebihan SEM dibanding dengan teknik analisis lainnya (Capraro,et al., 2001).
SEM dapat mengestimasi varians error skor hasil pengukuran secara aktual mengestimasi
reliabilitas.Menurut Gefen et al., (2001), SEM sebagai teknik statistik multivariat yang
mengkombinasikan antara regresi berganda yang mengidentifikasikan hubungan antara konstruk
dan analisis faktor yang mengidentifikasi konsep tak terukur melalui beberapa indikator manifest
yang keduanya dipakai secara simultan.
SEM memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan teknik analisis lainnya.Dalam menguji
hubungan antara variabel, SEM secara otomatis mereduksi efek error pengukuran. Capraro et al.,
(2001) mengatakan bahwa pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dipengaruhi
oleh efek atenuasi. Nilai efek ini tidak dapat melebihi batas koefisien reliabilitas skor tes yang
digunakan.Pendekatan pertama adalah koreksi korelasi atenuasi yang disebabkan oleh error
pengukuran dan pendekatan kedua adalah model persamaan struktural dalam konteks analisis
faktor konfirmatori.Lee dan Song (2001) mengatakan bahwa SEM adalah salah satu pendekatan
untuk menegaskan model pengukuran. Pada model pengukuran SEM menghubungkan antara
konstruk laten dengan dengan konstruk empirik. Konstruk empirik dinyatakan oleh kombinasi
konstruk laten. Disamping dapat dan mampu menangani generalizability theory dan item response
theory, SEM mampu membandingkan model pengukuran dan memfasilitasi investigasi ketepatan
model.
SEM mempunyai dua komponen dasar. Pertama, model pengukuran didefinisikan sebagai
hubungan antara variabel laten dan sekelompok variabel penjelas yang dapat diukur langsung.
Kedua, model struktural didefinisikan sebagai hubungan antara variabel laten yang tidak dapat
diukur secara langsung. Variabel-variabel tersebut juga dibedakan sebagai variabel bebas dan
variabel tidak bebas.
METODE
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Survei digunakan di dalam
pengumpulan data dan tidak dibuat perlakuan (treatment) atau pengkondisian terhadap variabel
yang diteliti, namun hanya mengungkap fakta berdasarkan gejala yang ada pada mahasiswa
ataupun responden yang lainnya. Survei sampel di dalam penelitian ini merupakan survei sampel
terhadap hal-hal yang tidak nyata (intangible) yakni bila survei menyangkut pengukuran konstruk
psikologis atau sosiologis dan membandingkan anggota-anggota populasi yang besar dimana
variabelnya tidak dapat langsung diamati. Oleh karena penelitian ini mengukur konstruk psikologis
secara tidak langsung dari sampel populasi, maka jelas penelitian ini disebut survei sampel
terhadap hal-hal yang tidak nyata (sample survey of intangibles).
Instrumen dalam penelitian skala dibuat dua kolom dengan rincian, untuk kolom pertama ini
merupakan kenyataan (realitas) atau fakta yang ada dan dipersepsi oleh mahasiswa terhadap
kualitas pelayanan yang memuaskannya dengan lima alternatif jawaban mulai dari sangat tidak
puas (STPs) nilai 1, tidak puas (TPs) nilai 2, netral (N) nilai 3, puas (Ps) nilai 4, dan sangat puas
(SPs) nilai 5. Penskalaan ini untuk instrumen kinerja.Untuk kolom kedua, harapan mahasiswa
terhadap institusi dengan skala lima alternatif berdasarkan tingkat kepentingan mahasiswa dengan jawaban mulai dari sangat tidak penting (STPt) nilai 1, tidak penting (TPt) nilai 2, Biasa-biasa (Bb)
nilai 3, penting (Pt) nilai 4, dan sangat penting (SPt) nilai 5. Sedangkan ini untuk penskalaan
instrumen harapan.Penelitian ini akan dilaksanakan di FT UNJ pada tahun 2005 pada dari bulan
Mei sampai dengan Juli 2005, terdiri dari 75 mahasiswa Jurusan Teknik Mesin. Jadi bisa dikatakan
data penelitian ini data ex post facto.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Reliabilitas Multidimensi Untuk Instrumen
Kinerja
Instrumen kinerja ini terdiri atas 30 butir pernyataan kuesioner kepuasan mahasiswa sebagai
pelanggan internal. Ketiga puluh butir instrumen ini merupakan hasil penelitian yang telah
divalidasi oleh peneliti sendiri yang semula 33 butir dan gugur 1 butir. Instrumen yang terdiri dari
30 butir ini dapat dirinci sebagai berikut: 6 butir untuk dimensi tangible, 7 butir reliability, 5butir
responsiveness, 7 butir assurance, dan 5 butir empathy. Untuk reliabilitas konsistensi internal alpha
Cronbach diperoleh langsung menggunakan program SPSS sebesar 0,934.
3.2. Reliabilitas Multidimensi
Untuk Instrumen Harapan
Instrumen harapan ini terdiri atas 30 butir pernyataan kuesioner tingkat kepuasan mahasiswa
sebagai pelanggan internal. Untuk reliabilitas konsistensi internal alpha Cronbah diperoleh
langsung menggunakan program SPSS sebesar 0,934.
Perhitungan untuk dua buah instrumen di atas diperoleh koefisien reliabilitas multidimensi relatif
lebih tinggi atau lebih tepat dibandingkan dengan koefisien reliabilitas unidimensi. Hal ini belum
ada kesepakatan antar ahli psikometri. Namun di kalangan peneliti di Indonesia sebaiknya setelah
mengetahui alat yang paling tepat sebaiknya mulai memakai/menggunakan alat tersebut secara
benar dan memadai.
Memang sebagian besar peneliti di kalangan dosen maupun mahasiswa S2 maupun S3 belum
mengetahui formula untuk menghitung koefisien reliabilitas konstruk, omega ataupun reliabilitas
maksimal tersebut. Jadi kali ini saatnya untuk mengenalkan dan juga menggunakan formula
tersebut. Dengan alasan sudah tahu rumusnya dan kebanyakan konstruk psikologis, kepribadian,
pendidikan, dan sosial adalah multidimensi, sehingga seluruh peneliti baik mahasiswa maupun
dosen berkembang dan makin berkembang untuk menggali lebih dalam lagi tentang koefisien
reliabilitas yang lainnya.
Interpretasi koefisien reliabilitas merupakan evaluasi kecermatan skor tes, bukan sekedar
keajegannya saja. Juga dalam menginterpretasikan tingginya koefisien reliabilitas, paling tidak ada
dua hal yang perlu dipahami, yakni: (1) reliabilitas yang diestimasi dengan menggunakan suatu
kelompok subjek dalam situasi tertentu akan menghasilkan koefisien yang tidak sama dengan
estimasi tes tersebut pada kelompok subjek lain, dan (2) koefisien reliabilitas hanyalah
mengindikasikan besarnya inkonsistensi skor hasil pengukuran, bukan menyatakan langsung sebabsebab inkonsistensi itu.
Pengukuran bidang pendidikan merupakan sesuatu yang cukup rumit. Berbagai tulisan di dalam
jurnal pengukuran pendidikan berkisar pada cara pengukuran yang diharapkan memberikan hasil
yang valid, reliabel, dan akurat. Usaha para pakar tidaklah mudah karena para pakar tersebut makin
lama membawa pengukuran pendidikan itu jauh ke dalam kawasan matematika.Tanpa menguasai
dengan baik matematika yang tinggi dan rumit, kita tidak dapat memahami berbagai jurnal
pengukuran pendidikan.
Sejauh ini, kita sangat tertinggal di bidang pengukuran pendidikan.Sangat sedikit pakar ilmu
pendidikan yang mampu memahami isi jurnal pengukuran pendidikan yang bertaburkan
matematika tingkat tinggi.Oleh karena itu perlu diusahakan peningkatan para pakar ilmu
pendidikan di bidang pengukuran pendidikan.
Usaha itu dapat dimulai dengan mengubah persepsi kita selama ini yang sejak lama, para pendidik
dikalangan kita memiliki anggapan bahwa ilmu pendidikan dan psikologi tidak memerlukan
matematika.Matematika adalah garapan MIPA dan Teknik dan bukan garapan ilmu pendidikan.
Kini, berhadapan dengan pengukuran pendidikan para pendidik dikalangan kita perlu mengubah
persepsi mereka terhadap matematika. Para pendidik perlu menyadari bahwa ada bagian ilmu
pendidikan yang hampir tidak menggunakan matematika, tetapi ada juga bagian ilmu pendidikan
yang sangat memerlukan matematika, seperti contoh di atas statistika multivariat yang memerlukan
kemampuan matematika tinggi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil ujicoba di dalam penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
pertama, kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan internal memiliki 5 dimensi yaitu: (a) sesuatu
yang terwujud (tangible), (b) kehandalan (reliability), (c) daya tanggap (responsiveness), (d)
jaminan (assurance), dan (e) empati (empathy). Oleh karena memiliki 5 dimensi tersebut penelitian
mencoba menghitung koefisien reliabilitas konstruk dan omega serta reliabilitas maksimal yang
memang sudah seharusnya bila koefisien reliabilitas multidimensi digunakan. Dengan kata lain
pengukuran yang lebih tepat menggunakan koefisien reliabilitas konstruk, omega atau reliabilitas
maksimal.
Saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: pertama, estimasi instrumen ini perlu diuji lebih
lanjut dengan menggunakan rumus lainnya yang tidak berbasis SEM. Kedua, oleh karena penelitian
ini menggunakan skala lima maka bila perlu dilanjutkan menggunakan berbagai skala lain,
misalnya skala diferensial semantik, skala dikotomi, skala Thurstone, dan sebagainya.
Ketiga, instrumen ini perlu diuji dengan menggunakan sampel yang lebih besar dengan populasi
dan setting yang lebih luas serta melibatkan beberapa propinsi sekaligus, juga dengan jenjang
sekolah dan jenis universitas atau perguruan tinggi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Capraro, M. M., Capraro, R. M. & Herson, R. K. (2001). Measurement error of score on the mathematics anxiety rating scale across sudies. Educational and Psychological Measurement, 61: 373–386.
Feld, I. S., Woodruff, D. J. & Salih, F. A. (1987). Statistical inference for coefficient alpha. Applied Psychological Measurement, Vol. II: 93 – 103.
Gable, R. K. (1986). Instrument development in the affective domain.Amsterdam: Kluwer Nijhoff Publishing.
Geffen, D., Straub, D. W. & Boudreau, M. D. (2001). Structural equation modeling and regression: guidelines for research practice. Communications of AIS, Volume 4: Article 7.
Hancock, G. R. & Mueller, R. O. (2000). Rethinking construct reliability within latent variable systems. Di dalam Stuctural equation modeling: present and future, R. Cudek, S. H. C. duToit, dan D. F. Sorbom (Eds.), Chicago: Scientific Software International.
Idrus, N.,et al., (2000).Quality assurance. Jakarta: Directorate General of Higher Education.
Kamata, A., Turhan, A. & Darandari, E. (April 2003). Estimating reliability for multidimensional composite scales scores. Paper presented in Annual Meeting of American Educational Research Association at Chicago.
Kerlinger, F. N. (2000). Asas-asaspenelitian behavioral, terjemahan Landung Simatupang. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press.
Latan, Hengky. (2012). Structural equation modeling konsep dan aplikasi menggunakan program Lisrel 8.80.Bandung: Alfabeta. Lee, S. Y. & Song, X. Y. (January 2001). Hyphotesis testing and model comparison in two-level structural equation model.
Multivariate Behavioral Research, Volume 36 (4): 639–655. Lewis, R. G. & Smith, D. H. (1994).Total quality in higher education.Florida: St. Lucie Press.
Litwin, M. S. (1995).How to measure survey reliabity and validity.London: Sage Publications.
McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of test and items. British Journal of Mathematical and Statistical Psychology, 34: 100 – 117.
Naga, D. S. 1992. Teori Sekor. Jakarta:Gunadarma Press. Parasuraman, A. 1988. Servqual: AMulti-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailing, Vol. 64(1): 12 – 37.
Parasuraman, A., Zeinthaml, V. A. &Berry, L. L. (1985).A conceptual model of service qualityand its iimplications for future research. Journal of Marketing, Vol. 49: 41 – 50.
Socan, G. (2000). Assessment of reliability when test items are not essentially t-equivalent. Di dalam Development in Survey Methodology, Anuska Feligoj and Andrej Mrvar (Eds.), Ljubljana: FDV.
Spector, P., Brannick, P. & Chen, P. (1997). When two factors don‟t reflect two constructs: how item characteristics can produce artifictual factors. Journal of Management, Vol. 23 (5): 659 – 668.
Thompson, B. (1994). Guidelines for author. Educational and Psychological Measurement, Vol. 54: 837 – 847.
Vehkalahti, K. (2000). Reliability of measurement scales tarkkonnen‘s general method supersedes cronbach‘s alpha. Academic Dissertation, University of Helsinki.
Widhiarso, W. & Mardapi, D. (2010). Komparasi ketepatan estimasi koefisien reliabilitas teori skor murni klasik.Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Vol. 14 (1): 1 – 19.
Widhiarso, Wahyu. (2009). Koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi. Psikobuana, Vol. 1 (1): 39 – 48.
Wiersma, W. (1986).Research methods in education: an introduction. London:Allyn and Bacon, Inc.
Wijanto, Setyo Hari.(2008).Structural equation modeling dengan LISREL 8.8. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zeinthaml, V. A., Parasuraman, A. &Berry, L. L. (1990).Delivering quality service: balancing customer perceptions and expectations.New York: The Free Press.
Posting Komentar untuk "RELIABILITAS MULTIDIMENSI INSTRUMEN KEPUASAN MAHASISWA SEBAGAI PELANGGAN INTERNAL (Aplikasi Analisis Faktor Konfirmatori)"
Silahkan memberi komentar yang positif dan membangun. Terima kasih!